Saturday, June 13, 2009

DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin telah lama muncul sistem kehidupan yang bernama demokrasi dan telah diadopsi oleh hampir seluruh negeri-negeri Islam dan masyarakatnya. Sebagian menerimanya secara total tanpa reserve, sebagian mencoba mengkompromikannya dengan Syariat Islam, dan sebagian kecil lagi menolaknya mentah-mentah dan hanya menginginkan Syariat Islam saja yang diterapkan sebagai sistem kehidupannya.

Hakikat demokrasi yang sebenarnya adalah proses penetapan hukum di tengah-tengah manusia berdasarkan kehendak rakyat secara mayoritas. Ide demokrasi yang dikembangkan oleh Voltaire dan Montesquie dalam konteks kenegaraan ini sebenarnya telah menetapkan manusia sebagai pembuat hukum (Musyarri’), bukan Al Khaliq. Dalam format negara demokrasi, akan dianggap tidak demokratis kalau hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum Tuhan. Oleh karena itu, ide demokrasi ini sebenarnya adalah proses pemisahan agama dari negara (fashluddin ‘an dawlah). Falsafah Barat, the grand process of modernization, berpijak pada pemisahan masyarakat politik dari agama dan dari strukutur agama (uneklesastikal structure).

Bagi kaum Muslim, hakikat demokrasi seperti diatas sebenarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kaum muslim untuk mengikuti syariat Allah. Dam menlak segala sistem hukum yang bertentangan dengan syariat-Nya. Kehati-hatian kita agar tidak terjerumus ke dalam apa yang dianggap kafir, dzalim, fasik oleh Allah merupakan sebuah keniscayaan. Jika seorang menerima hakikat demokrasi, seraya mengesampingkan hukum Allah atau membenamkan hukum Allah sebagai sebuah keusangan karena takut dikatakan tidak demokratis, maka pandangan ini dapat menjerumuskannya kedalam kekafiran, kedzaliman atau kefasikan. Itulah paling tidak yang dapat kita pahami dari firman Allah Swt.: “Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut wahyu yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”(QS. Al Maidah[5]:44) pada ayat “Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut wahyu yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”(QS. Al Maidah[5]:45) dan pada ayat

و من لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الظلمون(الماؤئ)

“Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut wahyu yang diturunkan Allah, maka mereka adlah orang-orang kafir.”(QS. Al Maidah[5]:47). Sehingga menerima dan kegiatan menyebarkan paham demokrasi adalah bathil dalam pandangan Allah Swt.

Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa musyawarah adalah substansi dari demokrasi. Bahkan, mereka mengatakan bahwa jauh sebelum demokrasi di lahirkan masyarakat barat, Islam terlebih dahulu menancapkan prinsip-prinsip kehidupan yang demokratis. Dengan menafikan pengertian karakter dari demokrasi itu sendiri, demokrasi dipahami secara sederhana sebagai proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang pemimpin. Menurut mereka adanya pemilu, meminta pendapat rakyat, menegakkan ketetapan mayoritas, multi partai politik, kebebasan pers, mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan adalah bagian kehidupan demokrasi yang substansinya sudah ada didalam kehidupan Islam. Padahal literatur-literatur yang membahas teori-teori politik dan demokrasi tidaklah memberikan pengertian yang sesederhana pemahaman di atas. Secara mendasar, teori demokrasi adalah pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat (as siyadatu lir ra’iyyah). Para pemimpin yang diangkat dalm sistem demokrasi terikat dengan kontrak sosial untuk melaksankan aspirasi rakyat. Adanya kritik, koreksi bahkan pemecatan pemimpin dalam sistem demokrasi semuanya terkait dengan aspirasi rakyat.

Bertolak belakang dengan demokrasi, pemerintah yang dibangun Islam meletakkan kedaulatan di tangan syariat (as siyadah li asy-syar’i). Pemimpin yang diangkat oleh publik di dalam Islam melaui proses baiat adalah bertugas menyelenggarakan pengaturan urusan publik (ri’ayah asyu’uni an-nas) sesuai dengan hukum Islam. Adanya aktiftas mengoreksi penguasa (muhasabah li al hukam) sebagai bagian dari aktifitas amar ma’ruf nahi mungkar tidak bisa disamakan dengan aktifitas kritik atau koreksi, apalagi aksi oposisi didalam demokrasi. Sebab, amar ma’uf nahi mungkar bertujuan untuk meluruskan penguasa agar kembali pada hukum-hukum Islam, sedangkan aktifitas kritik pada sistem demokrasi bertujuan mengembalikan kedaulatan agar kembali kepada rakyat. Bahkan, gerakan oposisi pada sistem demokrasi sering ditujukan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah (dan hal ini tidak diperbolehkan di dalam Sistem Islam selama penguasa tersebut tidak melakukan kekufuran yang nyata, sebagaimana hadist Rasulullah saw. dari Ubadah bin Shamit: “Dan hendaklah kami tidak merampas kekuasaan dari yang berhak, kecuali [sabda rasul] apabila kalian melihat kekufuran yang nyata yang dapat dibuktikan di sisi Allah.” (HR. Bukhari muslim)).

Sementara itu, demokrasi dan musyawarah sama sekali tidak ada hubungan apa pun. Keduanya memiliki akar pemikiran dan praktek yang berbeda. Demokrasi adalah suatu pandangan hidup tersendiri yang memiliki sistem kehidupan tertentu, sementara musyawarah adalah metode pengambilan pendapat. Bila dalam sistem demokrasi keputusan mutlak seluruhnya pada suara mayoritas, maka dalam Islam tidak demikian. Keputusan yang membutuhkan ijtihad, strategi dan pemikiran mendalam diserahkan kepada para mujtahid dan para pakar yang bersangkutan, untuk dipilih pendapat yang terkuat dan paling mendekati kebenaran. Pada kasus Perang Badar, misalnya, Rasulullah saw. hanya mengambil pendapat Khubab ibn Mundzir ra. dan tidak meminta pendapat dari seluruh anggota legiun Perang Badar. Sementara itu, perkara yang bersifat teknis, seperti pemilihan kepala negara atau ketua organisasi, diserahkan kepada suara mayoritas. Sehingga analogi musyawarah sebagai substansi demokrasi adalah bathil pula adanya.

Friday, April 17, 2009